Laporan Praktikum ke-14 Hari/Tanggal : 21 Desember 2012
m.k. Teknologi Pembuatan
dan Kelompok : II
Pemberian Pakan
UJI BIOLOGIS DAN LAJU PENGOSONGAN LAMBUNG IKAN NILA (Oreochromis
niloticus) dan IKAN PATIN
(Pangasius sp.)
Disusun oleh:
Intan Kurnia Sakarosa
C14100056
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT
PERTANIAN BOGOR
2012
I.
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Pencernaan
adalah suatu proses penyederhanaan makanan melalui mekanisme fisika dan kimia
sehingga makanan berubah dari senyawa komplek menjadi senyawa sederhana untuk
selanjutnya diserap dan diedarkan ke seluruh tubuh dan digunakan pada proses
metabolisme sistem peredaran darah (Affandi, 2002).
Salah satu
organ yang berperan penting dalam proses pencernaan adalah lambung. Lambung
yang merupakan segmen pencernaan yang mempunyai diameter terbesar
dari segmen lainnya. Besarnya ukuran lambung ini berkaitan dengan fungsi
lambung yakni penampung makanan dan mencerna makanan. Laju Pengosongan Lambung menggunakan prinsip bahwa
lambung yang pada awalnya penuh secara berangsur-angsur akan kosong kembali
karena adanya proses pengangkutan makanan (chime) menuju usus melalui
segmen pilorus untuk diserap oleh tubuh. Lama waktu yang digunakan
untuk mengosongkan lambung ini dipengaruhi oleh jenis pakan dan faktor
lingkungan.
Tingkat
kepenuhan lambung ini diekspresikan dalam nilai indeks kepenuhan lambung
(ISC, index of stomach content). Nilai ISC untuk setiap jenis ikan
berbeda, sehingga penentuan nilai ISC dengan metode laju pengosongan lambung
sangat diperlukan dalam penentuan frekuensi pemberian pakan.
1.2
Tujuan
Untuk melihat laju digesti atau pengosongan lambung pada ikan. Kompetisi
yang ingin dicapai adalah setelah praktikum mahasiswa dapat mengetahui bentuk
lambung yang kosong dan berisi pakan, terampil dalam mengisolasi lambung ikan
dan dapat menghitung laju pengosongan lambung.
II. METODOLOGI
2.1 Waktu dan Tempat
Praktikum ini
dilaksanakan pada hari Jumat,
tanggal 7 Desember 2012 hingga tanggal 21 Desember 2012 bertempat
di Laboratoriun Nutrisi Basah, Departemen
Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor.
2.2
Alat dan Bahan
Alat-alat
yang digunakan adalah timbangan digital,
syiringe, seperangkat alat resirkulasi
air, dan akuarium. Sedangkan bahan-bahan
yang digunakan adalah Ikan Nila (Oreochromis
niloticus) dan Ikan
Patin (Pangasius sp.).
2.3
Prosedur Kerja
Dilakukan
pemeliharaan Ikan
Nila (Oreochromis
niloticus) dan Ikan
Patin (Pangasius sp.).
Masing masing sebanyak 6 dan 8 ekor, selama 14 hari dengan pemberian pakan komersil dan sistem air
resirkulasi. Akuarium yang telah diisi dengan air setinggi 20 cm, kemudian diberi aerasi pada akuarium yang akan
dipakai. Ikan Nila dan Ikan Patin dengan ukuran
yang seragam ditebar pada akuarium yang telah disiapkan. Ikan diberikan pakan sebanyak 2,5 gram perharinya sebanyak 3 kali sehari.
Untuk semua ikan pada salah satu akuarium dan lakukan pembedahan untuk mengambil
lambung ikan, setelah lambung diambil lakukan penimbangan untuk mengetahui
bobot lambung. Bobot lambung yang diperoleh dinyatakan sebagai bobot lambung
dalam keadaan ringan atau nol jam setelah makan. 60 menit setelah pemberian pakan ambil semua pada salah satu akuarium yang
lain dan lakukan juga pembedahan pada bagian ventral untuk dapat mengambil
lambung ikan serta melakukan penimbangan untuk mengetahui bobot lambung.
III. TINJAUAN
PUSTAKA
Laju pengosongan lambung dapat
didefinisikan sebagai laju dari sejumlah pakan yang bergerak melwati saluran
pencernaan per-satuan waktu tertentu, yang dinyatakan sebagai g/jam atau
mg/menit. Faktor- faktor yang mempengarugi laju pengosongan lambung menurut
Arispurnomo (2010) antara lain adalah sebagai berikut :
1. Pompa Pilorus dan
Gelombang Peristaltik
Pada dasarnya, pengosongan lambung
dipermudah oleh gelombang peristaltik pada antrum lambung, dan dihambat oleh
resistensi pilorus terhadap jalan makanan. Dalam keadaan normal pilorus hampir
tetap, tetapi tidak menutup dengan sempurna, karena adanya kontraksi tonik
ringan. Tekanan sekitar 5 cm, air dalam keadaan normal terdapat pada lumen
pilorus akibat pyloric sphincter. Ini merupakan penutup yang sangat
lemah, tetapi, walaupun demikian biasanya cukup besar untuk mencegah aliranchyme ke
duodenum kecuali bila terdapat gelombang peristaltik antrum yang mendorongnya.
Gelombang peristaltik pada antrum,
bila aktif, secara khas terjadi hampir pasti tiga kali per menit, menjadi
sangat kuat dekat insisura angularis, dan berjalan ke antrum, kemudian ke
pilorus dan akhirnya ke duodenum. Ketika gelombang berjalan ke depan, pyloric
sphincter dan bagian proksimal duodenum dihambat, yang merupakan
relaksasi reseptif. Pada setiap gelombang peristaltik, beberapa millimeter
chyme didorong masuk ke duodenum.
Derajat
aktivitas pompa pilorus diatur oleh sinyal dari lambung sendiri dan juga oleh
sinyal dari duodenum. Sinyal dari lambung adalah derajat peregangan lambung
oleh makanan, dan adanya hormon gastrin yang dikeluarkan dari antrum lambung akibat
respon regangan. Kedua sinyal tersebut mempunyai efek positif meningkatkan daya
pompa pilorus dan karena itu mempermudah pengosongan lambung. Sebaliknya,
sinyal dari duodenum menekan aktivitas pompa pilorus. Pada
umumnya, bila volume chyme berlebihan atau chyme tertentu berlebihan telah
masuk duodenum. Sinyal umpan balik negatif yang kuat, baik syaraf maupun
hormonal dihantarkan ke lambung untuk menekan pompa pilorus. Jadi, mekanisme
ini memungkinkan chyme masuk ke duodenum hanya secepat ia
dapat diproses oleh usus halus.
2. Volume Makanan
Volume makanan dalam lambung yang
bertambah dapat meningkatkan pengosongan dari lambung. Tekanan yang meningkat
dalam lambung bukan penyebab peningkatan pengosongan karena pada batas-batas
volume normal, peningkatan volume tidak menambah peningkatan tekanan dengan
bermakna,. Sebagai gantinya, peregangan dinding lambung menimbulkan refleks
mienterik lokal dan refleks vagus pada dinding lambung yang meningkatkan
aktivitas pompa pilorus. Pada umumnya, kecepatan pengosongan makanan dari
lambung kira-kira sebanding dengan akar kuadrat volume makanan yang tertinggal
dalam lambung pada waktu tertentu.
3. Hormon Gastrin
Peregangan serta adanya jenis
makanan tertentu dalam lambung menimbulkan dikeluarkannya hormon gastrin dari
bagian mukosa antrum. Hormon ini mempunyai efek yang kuat menyebabkan sekresi
getah lambung yang sangat asam oleh bagian fundus lambung. Akan tetapi, gastrin
juga mempunyai efek perangsangan yang kuat pada fungsi motorik lambung. Yang
paling penting, gastrin meningkatkan aktivitas pompa pilorus sedangkan pada
saat yang sama melepaskan pilorus itu sendiri. Jadi, gastrin kuat pengaruhnya
dalam mempermudah pengosongan lambung. Gastrin mempunyai efek konstriktor pada
ujung bawah esofagus untuk mencegah refluks isi lambung ke dalam esofagus
selama peningkatan aktivitas lambung.
4. Refleks Enterogastrik
Sinyal syaraf yang dihantarkan dari
duodenum kembali ke lambung setiap saat, khususnya bila lambung mengosongkan
makanan ke duodenum. Sinyal ini mungkin memegang peranan paling penting dalam
menentukan derajat aktivitas pompa pilorus, oleh karena itu, juga menentukan
kecepatan pengosongan lambung. Refleks syaraf terutama dihantarkan melalui
serabut syaraf aferen dalam nervus vagus ke batang otak dan kemudian kembali
melalui serabut syaraf eferen ke lambung, juga melalui nervus vagus. Akan
tetapi, sebagian sinyal mungkin dihantarkan langsung melalui pleksus
mienterikus. Refleks enterogastrik khususnya peka terhadap adanya zat
pengiritasi dan asam dalam chyme duodenum. Misalnya, setiap saat dimana pH
chyme dalam duodenum turun di bawah kira-kira 3.5 sampai 4, refleks
enterogastrik segera dibentuk, yang menghambat pompa pilorus dan mengurangi
atau menghambat pengeluaran lebih lanjut isi lambung yang asam ke dalam duodenum
sampai chyme duodenum dapat dinetralkan oleh sekret pankreas dan sekret
lainnya. Hasil pemecahan pencernaan protein juga akan menimbulkan refleks ini,
dengan memperlambat kecepatan pengosongan lambung, cukup waktu untuk pencernaan
protein pada usus halus bagian atas. Cairan hipotonik atau hipertonik
(khususnya hipertonik) juga akan menimbulkan refleks enterogastrik. Efek ini
mencegah pengaliran cairan nonisotonik terlalu cepat ke dalam usus halus,
karena dapat mencegah perubahan keseimbangan elektrolit yang cepat dari cairan
tubuh selama absorpsi isi usus.
5. Umpan Balik Hormonal
dari Duodenum – Peranan Lemak
Bila makanan berlemak, khususnya
asam-asam lemak, terdapat dalam chyme yang masuk ke dalam duodenum akan menekan
aktivitas pompa pilorus dan pada akhirnya akan menghambat pengosongan lambung.
Hal ini memegang peranan penting memungkinkan pencernaan lemak yang lambat
sebelum akhirnya masuk ke dalam usus yang lebih distal. Walaupun demikian,
mekanisme yang tepat dimana lemak menyebabkan efek mengurangi pengosongan
lambung tidak diketahui secara keseluruhan. Sebagian besar efek tetap terjadi
meskipun refleks enterogastrik telah dihambat. Diduga efek ini akibat dari
beberapa mekanisme umpan balik hormonal yang ditimbulkan oleh adanya lemak
dalam duodenum.
6. Kontraksi Pyloric
Sphincter
Biasanya, derajat kontraksi pyloric
sphincter tidak sangat besar, dan kontraksi yang terjadi biasanya
dihambat waktu gelombang peristaltik pompa pilorus mencapai pilorus. Akan
tetapi, banyak faktor duodenum yang sama, yang menghambat kontraksi lambung,
dapat secara serentak meningkatkan derajat kontraksi dari pyloric
sphincter.Faktor ini menghambat atau mengurangi pengosongan lambung, dan
oleh karena itu menambah proses pengaturan pengosongan lambung. Misalnya,
adanya asam yang berlebihan atau iritasi yang berlebihan dalam bulbus duodeni
menimbulkan kontraksi pilorus derajat sedang.
7. Keenceran Chyme
Semakin encer chyme pada
lambung maka semakin mudah untuk dikosongkan. Oleh karena itu, cairan murni
yang dimakan, dalam lambung dengan cepat masuk ke dalam duodenum, sedangkan
makanan yang lebih padat harus menunggu dicampur dengan sekret lambung serta
zat padat mulai diencerkan oleh proses pencernaan lambung. Selain itu
pengosongan lambung juga dipengaruhi oleh pemotongan nervus vagus dapat memperlambat pengosongan
lambung, vagotomi menyebabkan peregangan lambung yang relatif hebat, keadaan
emosi, kegembiraan dapat mempercepat pengosongan lambung dan sebaliknya
ketakutan dapat memperlambat pengosongan lambung.
Derajat kepenuhan lambung
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi derajat
kepenuhan lambung, yaitu berat dan ukuran tubuh yang berbeda, perbedaan jenis
ikan, ukuran dan bentuk lambung, keadaan tubuh ikan, dan perbedaan habitat
ikan. Faktor-faktor ini dipengaruhi oleh kebiasaan makanan (Affandi,
2002). Kebiasaan makanan ikan berhubungan dengan bentuk, posisi mulut, gerigi
dalam rahang, dan kesesuaian tapis insang. Makanan yang tersedia di alam
dimanfaatkan oleh ikan, pemanfaatan ini dapat diketahui dengan mengambil contoh
makanan yang ada pada lambungnya dan dilengkapi dengan daftar pakan harian yang
diambil ikan dalam berbagai umur dan ukuran (Affandi, 2002). Laju
pengosongan lambung dapat dijadikan indikator tentang dasar penentuan frekuensi
pemberian pakan.
Digesti
adalah proses penghancuran zat makanan (makro molekul) menjadi zat
yang terlarut (mikro molekul) sehingga zat makanan tersebut mudah diserap dan
kemudian digunakan dalam proses metabolisme, proses ini memerlukan waktu. Waktu
yang diperlukan untuk mencerna makanannya itu disebut dengan laju digesti.
Alat-alat pencernaan terdiri atas dua saluran yaitu saluran pencernaan dan
kelenjar pencernaan. Saluran pencernaan meliputi mulut, rongga mulut, pharink,
esophagus, lambung, pilorus, usus, rektum, dan anus. Kelenjar pencernaanya
terdiri atas hati, empedu, dan pankreas (Fujaya, 2002). Proses degradasi
protein terjadi di lambung dan usus, sementara penyerapan makanan terjadi di
usus (Fujaya, 2004 dalam Rachmansyah et al., 2008). Makin cepat
waktu pengosongan lambung, frekuensi pemberian pakan yang dibutuhkan makin
tinggi (Gwither dan Grove, 1981 dalam Tahapari dan Suhenda,
2009). Makin kecil ukuran ikan, makin sering frekuensi pemberian pakannya (Kono
dan Nose, 1971 dalamTahapari dan Suhenda, 2009). Mengukur
perkembangan dan konsumsi sangat pentingsalah satu komponen
untuk memahami ekologi dari banyak
jenis ikan, ini untuk mengintegrasikan keterangan
dari faktor biotik dan abiotik (Kwak et al., 2006 dalamTetzlaff et
al., 2010).
Menurut Saanin (1984), klasifikasi ikan patin adalah
sebagai berikut:
Filum :Chordata
Sub Filum :Vertebrata
Kelas :Pisces
Sub Kelas :Teleostei
Ordo :Ostariophysi
Sub Ordo :Siluroidei
Family :Schilbeidae
Genus :Pengasius
Spesies :Pangasius hypopthalmus.
Menurut Saanin (1984), klasifikasi ikan nila adalah sebagai berikut:
Kingdom :Animalia
Filum :Chordata
Filum :Chordata
Sub Filum :Vertebrata
Kelas :Pisces
Kelas :Pisces
Sub Kelas :
Teleosin
Ordo :
Percormorphii
Sub Ordo :
Percoidae
Famili :
Cichlidae
Genus :Oreochromis
Spesies :Oreochromis niloticus
Spesies :Oreochromis niloticus
Morfologi
ikan nila yaitu memiliki bentuk tubuh yang pipih ke arah bertikal (kompres)
dengan profil empat persegi panjang ke arah antero posterior. Posisi mulut
terletak di ujung hidung (terminal) dan dapat disembuhkan. Pada sirip ekor
tampak jelas garis-garis vertikal dan pada sirip punggungnya garis tersebut
kelihatan condong letaknya. Ciri khas ikan nila adalah garis-garis vertikal
berwarna hitam pada sirip ekor, punggung dan dubur. Pada bagian sirip caudal
(ekor) dengan bentuk membuat terdapat warna kemerahan dan bisa digunakan
sebagai indikasi kematangan gonad. Pada rahang terdapat bercak kehitaman. Sisik
ikan nila adalah tipe ctenoid. Ikan nila juga ditandai dengan jari-jari dorsal
yang keras, begitu pun bagian analnya.
Menurut Yuwono (2001) faktor utama yang mempengaruhi kebutuhan energi pada
ikan adalah:
Ø Spesies terdapat suatu perbedaan tingkah laku yang
besar diantara spesies ikan misalnya pola aktivitas yang berbeda
Ø Pertumbuhan dapat dianggap sebagai hasil dari proses yang
cenderung yang cenderung untuk menurunkan energi tubuh
Ø Ukuran ikan yang memiliki ukuran yang lebih kecil
maka kecepatan metabolismenya lebih tinggi dari pada
ikan yang memiliki ukuran tubuh yang besar
Ø Aktifitas fisiologi ikan perbedaannya dari laju pertumbuhan,
dalam komposisi pertumbuhan , dalam tingkah laku dan dalam aktifitas efisiensi energi serta pada lamanya mencerna makanan
hingga mencapai laju pengosongan lambung yang sesuai.
Ø Suhu
lingkungan
Setelah
mengetahui fungsi pakan pada ikan maka pakan yang dikonsumsi oleh ikan kadalam
tubuh, juga diperlukan dalam proses digesti, dan fungsi laju digesti pada ikan
yaitu untuk membantu laju metabolisme ikan agar dalam prosesnya makanan yang
masuk kedalam tubuh ikan akan seimbang dan supaya dapat digunakan oleh tubuh
dalam pertumbuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Affandi,
Ridwan dan Tang, Usman Muhammad. 2002. Fisiologi Hewan Air. Pekan
baru. Universitas Riau Press.
Arispurnomo. 2010. Laju pengosongan
lambung [terhubung berkala]http://arispurnomo.com/faktor-faktor-yang-mempengaruhi-kecepatan-pengosongan-lambung (5
Mei 2011).
Fujaya. 2002. Fisiologi
Ikan. Direktorat
Jenderal Pendidikan Nasional, Makassar.
Rachmansyah .2008. Aktivitas enzim
protease dalam lambung dan usus ikan kerapu macan setelah pemberian pakan.
Media akuakultur vol.3 no.1, th 2008.
Tahapari dan Suhenda, 2009.
Penentuan frekuensi pemberian pakan untuk mendukung pertumbuhan benih ikan
patin pasupati. Berita biologi 9(6)-desember 2009.
Tetzlaff, Jared and william.
2010. Consumption and Growth Patterns of Flathead Catfish Derived From a
Bioenergetics Model. School of Forest Resources and Conservation,
University of Florida, Box 110600, Gainesville, FL 32653, USA.The Open Fish
Science Journal, 2010, 3, 101-109.
Saanin. 1984. Taksonomi
dan Identifikasi Ikan. Jilid I dan II. Bina Cipta, Bandung.
Yuwono, E. 2001. Fisiologi Hewan
I. Purwokerto: Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar