m.k
Manajemen Kualitas Air
PENANGANAN LOGAM BERAT DI TELUK
BUYAT SULAWESI UTARA MELAUI BIOREMEDIASI
Disusun Oleh:
Kelompok
V
Bayyu Adi Murangga C14100053
Sita Panca Rini C14100054
Triatmaja Pramudita W. C14100055
Intan Kurnia Sakarosa C14100056
Siti Kamilla C14100058
Azza Baihaqi C14100059
Fendy Bayu Israwan C14100060
Safira Qisthinah A. C14100061
TEKNOLOGI
DAN MANAJEMEN PERIKANAN BUDIDAYA
DEPARTEMEN
BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS
PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT
PERTANIAN BOGOR
2012
I.
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Kegiatan
bioremediasi dapat diaplikasikan untuk mengurangi logam berat. Misalnya yang
terjadi pada kasus teluk buyat. Teluk Buyat terletak di Kabupaten Minahasa,
Sulawesi Utara, adalah lokasi pembuangan limbah tailing, tailing merupakan
lumpur sisa penghancuran batu tambang milik PT. Newmont Minahasa Raya (NMR).
Perusahaan iini membuang sebanyak 2.000 ton limbah tailing ke dasar perairan
Teluk Buyat setiap harinya. Sejumlah ikan ditemui memiliki benjolan semacam
tumor dan mengandung cairan kental berwarna hitam dan lendir berwarna kuning
keemasan. Fenomena serupa ditemukan pula pada sejumlah penduduk Buyat, dimana
mereka memiliki benjol-benjol di leher, payudara, betis, pergelangan, pantat
dan kepala.
Logam berat
umumnya bersifat racun terhadap makhluk hidup walaupun beberapa diantaranya
diperlukan dalam jumlah kecil.
Pencemaran logam berat merupakan permasalahan yang sangat serius untuk
ditangani, karena merugikan lingkungan dan ekosistem secara umum. Logam berat
sendiri sebenarnya merupakan unsur esensial yang sangat dibutuhkan setiap
makhluk hidup, namun beberapa di antaranya (dalam kadar tertentu) bersifat
racun. Di alam, unsur ini biasanya terdapat dalam bentuk terlarut atau tersuspensi
(terikat dengan zat padat) serta terdapat sebagai bentuk ionik. Dampak dari
pencemaran logam berat ini sangat berbahaya baik paa organisme perairan manusia
dan lingkungan.
Mikroorganisme
akuatik bisa dimanfaatkan untuk mengurangi
polutan di lingkungan . kegiatan pemanfaatan mikroba dalam perbaikan
lingkungan biasa disebut dengan bioremediasi. Mikroorganisme ini bekerja
mengurangi limbah dilingkungan dengan memproduksi dan mengeluarkan enzyme untuk
mengubah polutan khususnya pada struktur kimia polutan tersebut. Kegiatan
bioremediaasi terdapat tiga macam yaitu biostimulaasi, bioaugmentasi dan bioremediasi.
Oleh karena itu mikroorganisme penting untuk perbaikan lingkungan khususnya
pada kasus logam berat yang terdapat pada Teluk Buyat.
1.2
Tujuan
Menganalisis
penyebab dan jenis pencemaran di Teluk Buyat serta memberikan solusi alternatif
dalam penanganan masalah pencemaran logam berat di daerah tersebut melalui
bioremediasi dengan bakteri.
1.3 Manfaat
Mengatasi masalah pencemaran di Teluk
Buyat akbiat aktivitas PT. Newmont Minahasa Raya sehingga tidak membahayakan
penduduk dan organisme akuatik yang ada di daerah tersebut.
II.
GAGASAN
1.1
Deskripsi Teluk Buyat
Teluk Buyat
adalah teluk kecil yang terletak di pantai selatan Semenanjung Minahasa,
Sulawesi Utara,
Indonesia.
Secara administratif, teluk ini berada di Kabupaten Minahasa Tenggara.
Teluk Buyat berada di sisi tenggara lengan semenanjung Sulawesi bagian utara,
menghadap Laut
Maluku. Di sekitar teluk ini tinggal
sejumlah nelayan.
Sejak tahun 1996, Teluk Buyat digunakan sebagai daerah penimbunan untuk Mesel
Gold Mine, dijalankan oleh PT Newmont Minahasa Raya, perusahaan cabang Newmont Mining Corporation
yang memiliki saham 80%.[3]
Tailing dari tambang emas itu merupakan cadas halus dan emas
ditemukan di situ.Sejak tahun 1996,
Newmont Mining Corporation
di bawah cabangnya PT. Newmont Minahasa Raya memanfaatkan teluk ini sebagai
penimbunan tailing
(limbah pertambangan) untuk aktivitas pertambangan emasnya. Pada tahun 2004,
penduduk setempat di wilayah tersebut memprotes beberapa masalah kesehatan tak
lazim yang lebih lanjut mencurigai Newmont melanggar peraturan kadar limbah
pertambangan sehingga mencemari wilayah itu dengan bahan berbahaya. Walhi,
aktivis lingkungan Indonesia, mengklaim Newmont menimbun 2.000 ton
tailing ke teluk itu setiap hari. Pada tahun 2004, akhirnya aktivitas
pertambangan ditutup sementara pemantauan lingkungan pasca-penambangan terus
berlangsung hingga tahun 2008.Jalur
pipa dibangun untuk menyalurkan tailing dari daerah pertambangan ke teluk yang
memanjang sekitar 900 m ke laut
dan menimbun bahan intu pada kedalaman 82 m.
Pada bulan Juli
2004, beberapa lembaga swadaya masyarakat
memulai kampanye mendakwa PT Newmont Minahasa Raya mencemari Teluk Buyat dengan
sengaja, yang menimbulkan efek samping pada kesehatan warga setempat. Pada
pertengahan tahun 2004, kelompok nelayan setempat memohonkan penyelidikan
independen kepada Pemerintah Indonesia
atas kadar limbah tambang Newmont di Teluk Buyat. Nelayan setempat melihat
jumlah ikan yang mati mendadak amat tinggi disertai dengan pembengkakan yang
tak biasa, hilangnya ikan bandeng muda dan spesies lain di wilayah teluk.
Mereka juga mengeluhkan masalah kesehatan yang tak biasa seperti penyakit kulit
yang tak dapat dijelaskan, tremor,
sakit kepala,
dan pembengkakan aneh di leher,
betis,
pergelangan tangan,
bokong,
dan kepala.
Penelitian itu menemukan beberapa logam
berat seperti arsen,
antimon,
merkuri,
dan mangan
yang tersebar di sana dengan kepadatan tertinggi di sekitar daerah penimbunan.[2]Pada
bulan November
2004, WALHI
(LSM lingkungan) bersama dengan beberapa organisasi nirlaba (Indonesian Mining
Advocacy Network, Earth Indonesia, dan Indonesian Center for Environmental Law)
mengumpulkan laporan yang lebih menyeluruh atas keadaan Teluk Buyat,
menyimpulkan teluk itu dicemari oleh arsen dan merkuri dalam kadar yang
berbahaya, sehingga berisiko tinggi bagi masyarakat.[1]
Sampel endapan dasar Teluk Buyat menunjukkan kadar arsen setinggi
666 mg/kg (ratusan kali lebih besar daripada Kriteria Kualitas Perairan
Laut ASEAN yang hanya 50 mg/kg) dan kadar merkuri rata-rata
1000 µg/kg (standar yang sama menetapkan 400 µg/kg). Dibandingkan
dengan sampel kontrol alami dari tempat yang tak dipengaruhi penimbunan limbah
pertambangan, studi itu juga menyimpulkan bahwa kadar arsen dan merkuri itu
tidak alami dan satu-satunya sumber yang mungkin adalah dari penimbunan limbah
pertambangan Newmont. Merkuri dan arsen tertumpuk di berbagai organisme hidup
di Teluk Buyat termasuk ikan yang dimakan setiap hari oleh penduduk setempat.
Kesehatan manusia berada dalam bahaya dan laporan itu merekomendasikan konsumsi
ikan harus dikurangi secara signifikan dan mungkin relokasi penduduk ke daerah
lain.Pada tahun 1994,
AMDAL Newmont menegaskan adanya lapisan termoklin pada kedalaman
50–70 meter sebagai penghalang bagi tailing untuk bercampur dan menyebar
di Teluk Buyat. Walaupun demikian, WALHI tak menemukan lapisan yang dimaksud.
1.2
Kasus Pencemaran Teluk Buyat
Akibat kegiatan pertambangan skala
besar oleh PT. Newmont Minahasa Raya (NMR), ekosistem perairan laut di teluk
Buyat rusak parah akibat buangan 2000 ton tailing setiap hari.
Bukan saja itu, kondisi masyarakat di sekitar Teluk Buyat yang mengantungkan
hidupnya dari hasil laut dan harus bertahan hidup di wilayah tersebut karena
tekanan kemiskinan harus menerima akibat dari pencemaran dan perusakan
ekosistem Perairan Teluk Buyat. Terkontaminasi logam berat arsen, lahan
tangkapan ikan berpindah jauh ketengah laut, yang semuanya itu menurunkan
kualitas hidup sebagian masyarakat Desa Buyat tepatnya masyarakat di dusun V
Desa Buyat Pante.
Limbah yang akan mengakibatkan biaya
tambahan bagi masyarakat akibat kegiatan perusahaan yang seharusnya tidak
keluar ke alam bebas, justru sengaja dikeluarkan melalui pipa sepanjang 900
meter dari tepi pantai Teluk Buyat. Akibatnya menimbulkan biaya pencemaran bagi
masyarakat sekitar Teluk Buyat atau eksternal cost. Seharusnya ini
menjadi biaya internal bagi perusahaan tersebut
Sejak 1986 – 2003, PT Newmont
Minahasa Raya meninggalkan beban derita terhadap warga Teluk Buyat dan
kerusakan lingkungan hidup yang tergolong berat. Hal ini diperkuat dalam
Laporan Resmi Tim Teknis Penanganan Kasus Pencemaran dan Perusakan Lingkungan
Teluk Buyat – Teluk Ratatotok (2004). Dalam laporan itu, disebutkan:
1.
Berlawanan dengan klaim PT Newmont
Minahasa Raya, lapisan “pelindung” termoklin tidak ditemukan pada kedalaman 82
meter.
2.
Teluk Buyat TERCEMAR Arsen dan
merkuri berdasarkan ASEAN Marine Water Quality Criteria 2004.
3.
Sumber (pencemaran) Arsen dan Merkuri
di Teluk Buyat adalah limbah tambang PT Newmont Minahasa Raya, BUKAN alamiah.
4.
Keanekaragaman hayati kehidupan laut
di Teluk Buyat MENURUN akibat pencemaran Arsen.
5.
Terjadi akumulasi (penumpukan)
Merkuri dalam makhluk dasar laut (benthos) di Teluk Buyat.
6.
Kadar Merkuri dalam ikan beresiko
(kesehatan) bagi penduduk Teluk Buyat.
7.
Kadar Arsen dalam ikan beresiko
(kesehatan) bagi penduduk Teluk Buyat.
8.
Upaya Pembersihan (clean-up) di
Teluk Buyat perlu dilakukan berdasarkan tingkat ancaman terhadap kesehatan manusia
(human health hazard)
9.
Kadar Arsen dalam air minum
melampaui baku mutu PERMENKES
10. Kadar Logam
Berat dalam udara di Dusun Buyat Pante secara keseluruhan paling tinggi
dibandingkan desa lainnya.
11. Pembuangan
limbah tambang PT Newmont Minahasa Raya MELANGGAR undang-undang pengelolaan
limbah beracun.
Deskripsi di atas, memperkokoh
argumentasi bahwa PT Newmont Minahasa Raya telah mencemari Teluk Buyat.
Karenanya, Tim Teknis Penanganan Kasus Pencemaran dan Perusakan Lingkungan
Teluk Buyat – Teluk Ratatotok, merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut:
1.
Disarankan dilakukan pemantauan
Teluk Buyat oleh pihak PT. Newmont Minahasa Raya dan juga pemerintah sampai
dengan 30 tahun yang akan datang.
2.
Masyarakat setempat yang terkena
penyakit mempunyai gejala yang sama dengan gejala yang diakibatkan
terpapar oleh Arsen.
3.
Kondisi Teluk Buyat dikategorikan
mempunyai resiko tinggi terhadap kesehatan manusia dengan adanya ikan yang
mengandung Arsen dan Merkuri, maka disarankan untuk mengurangi konsumsi ikan
yang berasal dari Teluk Buyat.
4.
Perlu dipertimbangkan untuk
merelokasi penduduk dusun Buyat Pante ke tempat lain.
5.
Perlu dilakukan penegakan hukum
terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan Lingkungan Hidup yang
dilakukan oleh PT. Newmont Minahasa Raya.
6.
Kajian hukum tim teknis
merekomendasikan pemerintah untuk selanjutnya melarang pembuangan limbah
tambang (tailing) ke laut.
Hal ini mendorong WALHI untuk
menggugat PT Newmont Minahasa Raya dengan tuduhan merusak lingkungan dan
meresahkan masyarakat. Adapun indikatornya adalah sebagai berikut:
(1) Prosedur dan lokasi Sistem Pembuangan Tailing
Dasar Laut (SPDTL) yang berada di lapisan awal zona termoklin yaitu pada
kedalaman 82 (delapan puluh dua) meter, tidak berada dibawah lapisan termoklin
(kedalaman 150 meter). Sehingga tailing terdispersi dan dapat ditemukan pada
kedalaman 20 (dua puluh) meter serta sudah tersebar pada radius 3,5 km dari
mulut pipa pembuangan tailing;
(2) Pembuangan tailing yang salah, menyebabkan
kerusakan ekosistem laut berupa: (a) kekeruhan yaitu pada zona euphotic, di
mana pada zona tersebut terdapat lingkungan fitoplankton (produsen) yang butuh
sinar matahari sebagai proses fotosintesis; (b) Penurunan jumlah dan
kualitas keberadaan terumbu karang di Teluk Buyat; (c) Bioakumulasi (penumpukan
terus menerus di dalam tubuh mahkluk hidup) dari sedimen pada biota laut di
daerah euphotic; (d)Penurunan kandungan bentos dan plankton (fitoplankton dan
zooplankton) akibat tingginya kadar Arsen (As) pada sedimen di Teluk Buyat; dan
(e) Kematian ikan dalam jumlah lebih dari 100 ekor di sekitar pipa pembuangan
tailing di Teluk Buyat maupun terdampar di pantai.
(3) Kesehatan masyarakat Buyat yang menurun dan berbagai
macam penyakit menyerang tubuh mereka, akibat konsumsi air minum dan ikan yang
mengandung logam berat (As dan Mn);
(4) Tidak adanya surat ijin dari Kementerian
Lingkungan HIdup dalam pembuangan limbah ke laut maupun pengolahan limbah (B3).
Dalam gugatan legal standing ini, WALHI menuduh PT
Newmont Minahasa Raya telah melakukan perbuatan melawan hukum atas pasal 41 (1)
junto pasal 45,46,47 Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pencemaran
Llingkungan, Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup. Uniknya, dalam proses persidangan, tepatnya pada
tanggal 12 Juni 2007, PT Newmont Minahasa Raya menggugat balik WALHI senilai
US$ 100.000 (setara Rp 9 Miliar, dengan asumsi 1 US$ = Rp 9.000).
Menanggapi gugatan balik PT Newmont
Minahasa Raya, WALHI menyatakan bahwa gugatan legal standing-nya merupakan
ikhtiar konkret penegakan hukum demi melindungi warga dari kerusakan
lingkungan. Kematian Andini (6 bln), Abdul Rizal Modeong (14 thn), Ny Fatma,
dan penyakit yang diderita oleh warga lainnya di dusun Buyat Pante dan Kampung
Buyat, adalah fakta yang tidak bisa disangkal, bahwa penderitaan mereka
bukanlah penyakit biasa, dan terkait erat dengan pencemaran lingkungan yang
dilakukan oleh PT Newmont Minahasa Raya.
1.3
Logam Berat Kromium, Cadmium, dan Timbal
Logam berat
memiliki kriteria yang sama dengan logam-logam yang lain. Perbedaan antara
logam berat dan logam-logam yang lain adalah pengaruh yang dihasilkan jika
diberikan ke tubuh organisme. Karakteristik yang dimiliki oleh logam berat
antara lain memiliki spesifikasi gravitasi yang sangat besar (lebih dari 4),
mempunyai nomor atom 22-23 dan 40-50 serta unsur laktanida dan aktinida, dan
mempunyai respon biokimia yang spesifik pada organisme hidup. Logam berat
dikenal sebagai bahan beracun. Namun, logam berat juga diperlukan oleh tubuh
organisme hidup dalam jumlah yang sedikit. Contoh logam berat adalah air raksa
(Hg), kadmium (Cd), timbal (Pb) dan crom (Cr). Adapaun jumlah logam berat yang
sedikit dibutuhkan oleh tubuh organisme, jika terlalu banyak akan mengakibatkan
keracunan pada organisme tersebut. Apabila kebutuhan logam berat yang kecil
tidak terpenuhi maka berakibat fatal terhadap kelangsungan makhluk hidup.
Kebutuhan akan logam berat ini menyebabkan logam berat dinamakan logam berat
essensial. Contoh logam berat essensial adalah tembaga (Cu), seng (Zn), dan
nikel (Ni). Sumber logam berat dalam perairan adalah sumber alamiah dan dari
aktivitas manusia misalnya buangan industri ataupun buangan rumah tangga
(Sudarwin 2008).
Cromium (Cr)
adalah salah satu logam transisi yang penting. Kromium memiliki ciri yakni
senyawa kompleks, warna menarik, berkilau, titik lebur di suhu tinggi dan tahan
terhadap perubahan cuaca. Kromium biasa digunakan untuk industri, electroplating, penyamakan kulit, cat
tekstil, fotografi, pigmen (zat warna), besi baja, dan industri kimia. Namun,
kromium juga dapat menimbulkan kerugian bagi lingkungan (tanah, udara dan air).
Air yang mengandung kromium sangat berbahaya karena ion logam ini dapat berubah
menjadi ion krom yang bervalensi enam yang bersifat racu (toksik). Ion logam
bervalensi enam bersifat racun (toksik) karena jika terakumulasi dalam tubuh
maka krom dapat merusak sel-sel dalam tubuh dan menyebabkan kanker dan
perubahan genetik. Perbedaan antara kromium bervalensi tiga dan bervalensi enam
yaitu kromium yang bervalensi tiga merupakan logam yang essensial bagi mammalia
untuk metabolisme gula, protein, dan lemak. Kromium bervalensi tiga lebih
stabil di air serta sifat racunnya tidak terlalu besar. Sedangkan kromium
bervalensi enam bersifat sangat oksidatif. Batas maksimum krom (VI) dalam air
sehat adalah 0.05 mg/L sedangkan dalam limbah 0,1 mg/L (Harhani et al. 2009).
Timbal
(Pb) memiliki ciri yakni berat atom 207,21, berat jenis sebesar 11,34, bersifat
lunak, dan berwarna biru atau silver abu-abu, nomor atom 82 memiliki titik
leleh 327,4OC dan titik didih
1.620OC. Berat jenis timbal lebih besar lima kali dari berat jenis
air. Oleh karena itu timbal disebut dengan trace
metals. Timbal umumnya ditemukan pada batu-batuan, tanah, tumbuhan dan
hewan. Timbal yang bersifat anorganik sebanyak 95% dan dalam bentuk garam
anorganik yang kurang larut dalam air. Timbal tidak larut dalam air tetapi
mudah larut dalam pelarut organik misalnya lipid. Pemanfaatan timbal dalam
kehidupan manusia adalah bahan pembuat baterai, amunisi, produk logam (logam
lembaran, solder dan pipa), perlengkapan medis (penangkal radiasi dan alat
bedah), cat, keramik, dan peralatan kegiatan ilmiah/praktek (papan sirkuit,/CB
untuk komputer). Timbal banyak ditemukan di daerah industri, jalan raya, dan
tempat pembuangan sampah. Oleh karena itu, timbal sangat mudah untuk masuk ke
dalam tubuh manusia. Proses masuknya timbal ke tubuh manusia antara lain
melalui saluran pernapasan (respirasi) dan saluran pencernaan
(gastrointestinal). Timbal dapat menyerang beberapa organ dalam tubuh organisme
yakni hemopoietik (sistem darah), sistem syaraf, ginjal, sistem
gastrointestinal, sistem kardiovascular, sistem reproduksi dan endokrin, dan
karsinogenik (Sudarwin 2008).
Kadmium
(Cd) memiliki ciri-ciri antara lain logam putih, mudah dibentuk, lunak,
berwarna biru, titik didih relatif rendah (767OC), mudah terbakar,
dan membentuk asap kadmium oksida. Kadmium dan garam kadmium banyak digunakan
pada pabrik untuk proses produksinya. Pemanfaatannya adalah untuk proses
fotografi, gelas dan campuran perak, produksi foto-elektrik, foto-konduktor dan fosforus. Keberadaan kadmium tergantung pada logam Pb dan Zn.
Kadmium dapat masuk ke dalam tubuh dengan cara memakan makanan yang tercemar
serta meminum minuman yang tercemar. Pengukuran kadmium intake ke dalam tubuh
manusia dilakukan dengan pengukuran kadar Cd dalam makanan yang dimakan atau
kandungan Cd dalam feses (Sudarwin 2008).
1.4
Bioremediasi dengan Bakteri
Kasus
Teluk Buyat di Sulawesi Utara adalah contoh kasus keracunan logam berat. Logam
berat yang berasal dari limbah tailing perusahaan tambang serta limbah
penambang tradisional merupakan sebagian besar sumber limbah B3 (bahan
berbahaya dan beracun) yang mencemari lingkungan. Limbah tailing merupakan
produk samping, reagen sisa, serta hasil pengolahan pertambangan yang tidak
diperlukan (Sutjahjo 2010). Tailing hasil penambangan misalnya penambangan emas
mengandung bahan-bahan berbahaya dan beracun seperti Arsen (As), Kadmium (Cd),
Timbal (Pb), Merkuri (Hg), Sianida (CN) dan lain-lain. Logam-logam yang berada
dalam tailing adalah logam berat yang masuk dalam kategori limbah bahan
berbahaya dan beracun (B3).
Salah
satu alternatif pencegahan pencemaran dengan logam-logam berat yang termasuk
dalam B3 tersebut dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, diantaranya
remediasi, yaitu kegiatan untuk membersihkan permukaan tanah yang tercemar. Ada
dua jenis remediasi tanah, yaitu in-situ (atau on-site) dan ex-situ
(atau off-site). Pembersihan on-site meliputi pembersihan,
venting (injeksi), dan bioremediasi. Sedangkan pembersihan off-site meliputi penggalian tanah yang tercemar dan kemudian
dibawa ke daerah yang aman. Setelah itu di daerah aman, tanah tersebut
dibersihkan dari zat pencemar.
Selanjutnya
dilakukan bioremediasi, yaitu proses pembersihan pencemaran tanah dengan
menggunakan mikroorganisme (jamur, bakteri) yang bertujuan untuk memecah atau
mendegradasi zat pencemar menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun
(karbon dioksida dan air) (Sutjahjo 2010). Bioremediasi merupakan salah satu
langkah alternatif penanganan limbah perairan. Bioremediasi memiliki beberapa
kelebihan diantaranya, memanfaatkan agen biologi yang ada di alam sehingga dapat
menghemat biaya, dapat mencegah kerusakan lingkungan, penyisihan buangannya
permanen dan menghapus resiko jangka panjang, dan dapat digabung dengan teknik
pengolahan lain. Sedangkan kekurangannya, terdapat pengotoran toksik,
membutuhkan pemantauan yang ekstensif, berpotensi menghasilkan produk yang
tidak dikenal, tidak semua bahan kimia dapat diolah secara bioremediasi, dan
adanya batasan konsentrasi polutan yang dapat ditolerir oleh organisme
(Citroreksoko 1996).
Teknik
bioremediasi dapat dilakukan yaitu melalui pemanfaatan agen biologi berupa
tumbuhan air atau bakteri. Misalnya Microccocus,
Corynebacterium, Phenylo- bacterium, Enhydro- bacter, Morrococcus,
Flavobacterium, Bacillus, Staphylococcus, dan Pseudomonas, yang dapat mendegradasi logam
Pb (misalnya pada tailing dari hasil kasus buyat), serta nitrat, nitrit,
bahan organik, sulfida, kekeruhan, dan amonia di dalamnya (Priadie 2012).
Bioremediasi merupakan proses degradasi secara biologis bahan organik menjadi
senyawa lain. Proses ini didasarkan pada siklus karbon, sehingga bentuk senyawa
organik dan anorganik didaur ulang melalui reaksi oksidasi dan reduksi. Proses
bioremediasi bergantung pada kemampuan organisme yang digunakan (mikroba,
tanaman, atau hewan) dan sistem yang dioperasikan pada jangka waktu tertentu
(Citroreksoko 1996).
III.
KESIMPULAN
Kasus pencemaran Teluk Buyat di awali
pada tahun 1986 hingga tahun 2012.
Hingga saat ini masalah Pencemaran di Teluk Buyat menjadi masalah yang cukup
rumit bagi pemerintah dan penduduk sekitar. Pencemaran ini diakibatkan oleh
tailing dari PT. Newmont Minahasa Raya yang berada 20 meter dari
permukaan laut. Tailing tersebut mengalami dispersi dan mencemari area laut.
Penecemaran tersebut menyebabkankerusakan ekosistem laut, kematian ikan lebih
dari 100 ekor di sekitar pipapembuangan di Teluk Buyat, kesehatan bagi penduduk
sekitar. Solusi dari masalah ini adalah bioremediasi denga bakteri yang dapat
mendegradasi logam berat yang ada di Teluk Buyat akibat aktivitas PT.
Newmont Minahasa Raya. Bakteri yang dapat digunakan untuk bioremediasi
adalah Microccocus,
Corynebacterium, Phenylo-bacterium, Enhydro-bacter, Morrococcus,
Flavobacterium, Bacillus, Staphylococcus, dan Pseudomonas. Meskipun
tidak semua logam berat dapat terdegradasi semua namun setidaknya dapat
mengurangi logam berat yang terdapat dalam Teluk Buyat.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim. 2005. Kasus Pencemaran Teluk Buyat.
[http://www.news.detik.com] 27 September 2006
Christian.
2008.Pencemaran Teluk Buyat. [http://www. pencemaran-teluk-buyat-oleh-pt-newmont] 24 Agustus 2011
Citroreksoko, P.
1996. Pengantar Bioremediasi. Prosiding pelatihan dan lokakarya: peranan
bioremediasi dalam pengelolaan lingkungan (Cibinong, 24-28 Juni 1996).
Puslitbang Bioteknologi LIPI, BBPT, dan Hanns Seidel Foundation: Cibinong,
Bogor. Hal. 1-1 1.
Hariani,
Poedji L et al. 2009. Penurunan
Konsentrasi Cr (VI) dalam Air dengan Koagulan FeSO4. Jurnal
penelitian sains. Jurusan kimia FMIPA, Universitas Sriwijaya, Sumatera Selatan.
Volume 12(2).
Priadie,
Bambang. 2012. Teknik bioremediasi sebagai alternatif dalam upaya pengendalian
pencemaran air. Jurnal Ilmu Lingkungan
10(1): 135-145.
Sudarwin.
2008. Analisis Spasial Pencemaran Logam Berat (Pb dan Cd)
Pada Sedimen Aliran Sungai Dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Jatibarang
Semarang. [Tesis]. Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro, Semarang
Veronica. 2003. Kasus Buyat. [http://www.kumurur.blogspot.com]
19 Agustus 2006