Rabu, 14 November 2012

Potensi indonesia sebagai negara agraris yang memenfaatkan energi terbaharukan

Potensi indonesia sebagai negara agraris yang memenfaatkan energi terbaharukan Hubungan ACFTA dan Pertanian Tak asing rasanya mendengar lirik lagu yang sering didendangkan salah satu grup musik cukup terkenal di negeri yang kita cintai ini. Berbicara tentang potensi sumber daya alam Indonesia memang sudah tidak diragukan lagi bahwa Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan sumber daya alamnya. Sebagaimana lagu yang didendangkan di atas, bahwa batu dan tongkat pun dianalogikan dapat menjadi tanaman karena kesuburan tanah yang dimiliki negara dengan julukan jamrud khatulistiwa. Pertanian merupakan hal yang sangat esensial dalam sebuah negara. Pasalnya, pertanian akan sangat erat kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan pangan yang jika tidak terpenuhi maka akan mengancam stabilitas ekonomi, sosial dan politik suatu negara. Akan tetapi, saat ini posisi pertanian dalam negeri dihadapkan pada posisi yang sangat dilemetis. Hal ini mengingat terus menurunnya harga-harga riil produk pertanian di satu pihak, dan kuatnya pertanian negara maju di pihak lain. Belum-belum pertanian dijadikan prioritas pembangunan di dalam negeri. Pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2004, malah meratifikasi perdagangan bebas ASEAN dan China. Pemerintah mengemukakan bahwa terdapat tiga peluang positif yang akan didapat Indonesia jika perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) dilakukan. Kondisi Kesejahteraan Petani Indonesia saat ini Kondisi pertanian Indonesia hari ini dirasa masih jauh dari kata sejahtera. Indikator ketahanan pangan, keamanan pangan, mandiri pangan, kesejahteraan petani masih belum dapat dikatakan tercapai. Sebagai penunjang kehidupan berjuta-juta masyarakat Indonesia, sektor pertanian memerlukan pertumbuhan ekonomi yang kukuh dan pesat. Sektor ini juga perlu menjadi salah satu komponen utama dalam program dan strategi pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Di masa lampau, pertanian Indonesia telah mencapai hasil yang baik dan memberikan kontribusi penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia, termasuk menciptakan lapangan pekerjaan dan pengurangan kemiskinan secara drastis. Hal ini dicapai dengan memusatkan perhatian pada bahan-bahan pokok seperti beras, jagung, gula, dan kacang kedelai. Akan tetapi, dengan adanya penurunan tajam dalam hasil produktifitas panen dari hampir seluruh jenis bahan pokok, ditambah mayoritas petani yang bekerja di sawah kurang dari setengah hektar, aktifitas pertanian kehilangan potensi untuk menciptakan tambahan lapangan pekerjaan dan peningkatan penghasilan. Jika diperhatikan, sejarah bangsa Indonesia adalah sejarah petani. Indonesia sebagai negara berkembang yang berada pada wilayah tropika dan memiliki luas wilayah daratan kurang lebih seluas 192 juta hektar dengan keanekaragaman karakteristik tanah/lahan dan sumber daya hayati yang tinggi. Potensi ini tentu harus dioptimalkan. Sektor pertanian juga berperan penting dalam penyedia dan penyerap tenaga kerja di Indonesia. Ini merupakan kekuatan atau modal dasar untuk menempatkan bidang pertanian sebagai pilar perekonomian nasional atau sebagai leading sector pembangunan yang akhir-akhir ini terbukti cukup tangguh menghadapi terpaan badai krisis global dibandingkan sektor industri (Elizabeth, R dan Darwis, V 2003). Perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) dan pertanian Mencermati pola dan struktur perdagangan Indonesia-China yang selama ini terjadi, sektor pertanian tampaknya berpeluang mendapatkan manfaat dari pemberlakuan ACFTA. Ekspor produk pertanian ke China terus mengalami peningkatan, sehingga kontribusi sektor pertanian didalam total penerimaan ekspor meningkat dengan signifikan. Selain itu, neraca perdagangan sektor pertanian Indonesia terhadap China menunjukkan posisi yang selalu surplus. Namun demikian, penting untuk dicermati bahwa didalam sektor pertanian itu sendiri, komoditas perkebunan mendominasi struktur ekspor sektor pertanian Indonesia. Neraca perdagangan komoditas pangan dan hortikultura Indonesia dibandingkan China mengalami defisit. Produk hortikultura, bawang putih, dan buah-buahan yang dikonsumsi masyarakat Indonesia justru banyak yang harus diimpor dari China. Defisit pertanian tersebut tertutup besarnya nilai ekspor komoditas perkebunan seperti kakao, CPO, karet, dan kopi. Makanya, secara keseluruhan neraca perdagangan sektor pertanian masih surplus. Pada saat harga jatuh dimana petani serta produsen tidak memiliki kontrol sama sekali untuk itu, kita harus rela merugi. Hal ini tentunya mengingatkan kita dengan apa yang terjadi pada era kolonial, ketika Indonesia hanya menjadi daerah pengerukan bahan mentah, kondisi yang terus dibiarkan hingga hari ini. Pertanian di Indonesia abad 21 harus dipandang sebagai suatu sektor ekonomi yang sejajar dengan sektor lainnya. Sektor ini tidak boleh lagi hanya berperan sebagai aktor pembantu apalagi figuran bagi pembangunan nasional seperti selama ini diperlakukan, tetapi harus menjadi pemeran utama yang sejajar dengan sektor industri. Karena itu sektor pertanian harus menjadi sektor modern, efisien dan berdaya saing, dan tidak boleh dipandang hanya sebagai katup pengaman untuk menampung tenaga kerja tidak terdidik yang melimpah ataupun penyedia pangan yang murah agar sektor industri mampu bersaing dengan hanya mengandalkan upah rendah (Saragih, Bungaran, 2002). Peran dan sosok pertanian Indonesia terkait ACFTA Terpuruknya perekonomian nasional pada tahun 1997 yang dampaknya masih berkepanjangan hingga saat ini membuktikan rapuhnya fundamental ekonomi kita yang kurang bersandar kepada potensi sumberdaya domestik. Pengalaman pahit krisis moneter dan ekonomi tersebut memberikan bukti empiris bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang paling tangguh menghadapi terpaan yang pada gilirannya memaksa kesadaran publik untuk mengakui bahwa sektor pertanian merupakan pilihan yang tepat untuk dijadikan sektor andalan dan pilar pertahanan dan penggerak ekonomi nasional. Kekeliruan mendasar selama ini karena sektor pertanian hanya diperlakukan sebagai sektor pendukung yang mengemban peran konvensionalnya dengan berbagai misi titipan yang cenderung hanya untuk mengamankan kepentingan makro yaitu dalam kaitan dengan stabilitas ekonomi nasional melalui swasembada beras dalam konteks ketahanan pangan nasional. Secara implisit sebenarnya stabilitas nasional negeri ini di bebankan kepada petani yang sebagian besar masih tetap berada di dalam perangkap keseimbangan lingkaran kemiskinan jangka panjang (the low level equilibrium trap). Pada hakekatnya sosok pertanian yang harus dibangun adalah berwujud pertanian modern yang tangguh, efisien yang dikelola secara profesional dan memiliki keunggulan memenangkan persaingan di pasar global baik untuk tujuan pemenuhan kebutuhan dalam negeri maupun ekspor (sumber devisa). Dengan semakin terintegrasinya perekonomian Indonesia ke dalam perekonomian dunia, menuntut pengembangan produk pertanian harus siap menghadapi persaingan terbuka yang semakin ketat agar tidak tergilas oleh pesaing-pesaing luar negeri. Untuk itu paradigma pembangunan pertanian yang menekankan pada peningkatan produksi semata harus bergeser ke arah peningkatan pendapatan dan kesejahteraan keluarga petani dan aktor pertanian lainnya dengan sektor agroindustri sebagai sektor pemacunya (leverage factor). Upaya dan langkah kelembagaan dan perusahaan pertanian Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan pasar dalam negeri dan memperkuat daya saing produk pertanian Indonesia perlu dilakukan langkah-langkah yang sinergis antara pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat dengan orientasi membangun kualitas dan nilai tambah serta peningkatan efisiensi. Pertama, pemerintah harus lebih serius menunjukkan keberpihakan pada sektor pertanian. Keberpihakan pemerintah terhadap sektor pertanian sangat dibutuhkan, karena akan memacu peningkatan daya saing. Di bidang produksi program “One Vilage One Product” semestinya dikembangkan secara sungguh-sungguh bukan lagi sekedar wacana. Dengan program ini maka setiap daerah akan fokus mengembangan komoditas pertanian yang cocok dengan potensi agroklimat setempat. Program tersebut wajib didukung oleh adanya penyediaan sarana produksi pertanian yang mudah dijangkau petani. Kelangkaan pupuk pada saat petani membutuhkannya, kesulitan petani memperoleh benih unggul, dan permasalahan lainnya yang terkait dengan kebutuhan sarana produksi tidak boleh lagi terjadi. Peranan pemerintah sangat diperlukan terutama dalam melakukan pengawasan sampai lini terbawah. Kedua, perlu diciptakan keunggulan kompetitif bagi produk pertanian kita. Indonesia sebenarnya memiliki keunggulan komparatif yang sangat potensial untuk dijadikan pemicu peningkatan daya saing. Namun keunggulan komparatif saja tidak cukup, melainkan harus didukung dengan keunggulan kompetitif yang berupa keunikan (uniqueness) produk. Keunikan (uniqueness) produk merupakan kekuatan yang tidak mudah untuk dikalahkan oleh para pelaku usaha lain yang memproduksi produk yang sama. Ketiga, untuk dapat meningkatkan daya saing produk pertanian perlu dilakukan langkah peningkatan efisiensi baik dalam bidang produksi maupun distribusi produk. Penggunaan teknologi budidaya dan input yang lebih efisien perlu untuk terus dikembangkan. Faktor kelembagaan petani yang menunjang efisiensi produksi kiranya perlu mendapat perhatian yang lebih banyak lagi. Terkait dengan sumberdaya lahan, perlu untuk dipikirkan tentang adanya kebijakan konsolidasi lahan pertanian, dengan tujuan untuk meningkatkan luas penguasaan lahan pertanian per individu petani, sehingga efisiensi usaha pertanian akan meningkat. Keempat, perilaku masyarakat pun perlu diperkuat dalam menghadapi perdagangan bebas dengan mengobarkan semangat untuk mencintai produk dalam negeri. Untuk produk pertanian seperti buah dan sayuran, pola konsumsi masyarakat terutama masyarakat kelas menengah ke atas sangat dipengaruhi oleh gaya hidup (life style) mereka. Oleh karena itu perlu usaha-usaha secara kultural untuk mempengaruhi perilaku konsumsi kelompok masyarakat ini, dengan menjadikan nilai estetika produk pertanian dalam negeri menjadi bagian penting dari gaya hidup (life style) mereka (Ahmad Teddy Wijaya Pratama 2005). Peluang mahasiswa Sebagai mahasiswa yang memiliki kapasitas intelektual seharusnya juga dapat ikut serta menyelesaikan masalah ini dengan terus mengingatkan pemerintah akan pentingnya hal ini lewat berbagai media. Kontribusi nyata mahasiswa juga dapat dilakukan dengan ikut serta membantu pemerintah dalam pembangunan kesadaran kepada masyarakat petani. Harapannya petani lebih cerdas dalam menghadapi mafia-mafia pertanian yang ada di lapangan dengan melakuakn penyuluhan atau sejenisnya. Sebagai generas penerus mahasiswa juga harus dapat menjaga idealisme akan pentingnya penyelesaian masalah bangsa ini dan terus menularkan semangat perbaikan di generasi yang akan mendatang tanpa harus mengulangi sejarah yang tidak baik. Masalah pertanian memang bukanlah masalah yang sederhana karena melibatkan berbagai sektor yang berkaitan dengan dunia pertanian itu sendiri, mulai dari perekonomian, perdagangan, tata lingkungan, dan lainnya. Oleh karena itu semua elemen masyarakat dalam Negara ini seharusnya dapat turut serta dalam penyelesaian masalah-masalah yang ada, termasuk di dalamnya pemerintah, mahasiswa dan petani itu sendiri. Dengan demikian sebuah kesejahteraan negara yang kita cintai ini bukan hanya harapan kosong semata. Titik akhir pertanian ini Dengan keseriusan dalam mengoptimalkan potensi kekayaan alam Indonesia khususnya pertanian, harapannya Indonesia bisa bertahan dan memiliki posisi tawar yang tinggi dalam arus globalisasi. Atmosfher globalisasi hendaknya memacu Indonesia sebagai pejantan tangguh bukan malah menjadikan Indonesia sebagai mangsa predator-predator negara maju bahkan bukan tidak mungkin bisa menjadi gudang pangan dunia. Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA) harus dijadikan pembelajaran untuk meningkatkan daya saing produk pertanian agar mampu memenangkan perdagangan global. Jika ada kebijakan yang mendorong peningkatan daya saing untuk komoditas pertanian, yang didukung dengan semangat cinta produk dalam negeri oleh masyarakat Indonesia, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi raksasa dalam bisnis produk pertanian di dunia, menggeser Thailand yang selama ini telah berhasil membangun branding sebagai produsen buah tropis berkelas dunia. PPENVKB DAFTAR PUSTAKA Ahmad, T.W. 2005. Kemandirian Lokal. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Elizabeth, R dan Darwis, V., 2003. Karakteristik Petani Miskin dan Persepsinya Terhadap Program JPS di Propinsi Jawa Timur. SOCA. Bali. http://www.antaranews.com/berita/262597/14-perusahaan-multinasional-dukung-peningkatan-produksi-pertanian Novialdi. 2007. Membangun Gerakan Ekonomi Kolektif dalam Pertanian Berkelanjutan; Perlawanan Terhadap Liberalisasi dan Oligopoli Pasar Produk Pertanian. Tegalan Diterbitkan oleh BABAD. Purwokerto. Jawa Tengah. Saragih, Bungaran, 2002. Pengembangan Agribisnis dalam Pembangunan Ekonomi Nasional Menghadapi Abad ke 21. http/www. 202. 159. 18. 43/jsi.htm (online). 17 Agustus 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar